PENGANTAR: Saya tidak membuat polling atau menanyai satu demi satu pembaca "Murjangkung" cerpen apa yang paling mereka sukai dalam kumpulan ini. Sejumlah pembaca menyampaikan sendiri pendapat mereka dan, sejauh ini, cerpen "Otobiografi Gloria" paling banyak disebut-sebut oleh mereka. Ia bahkan mengungguli Murjangkung yang saya andalkan sebagai judul buku. Cerpen "Otobiografi Gloria" mula-mula dimuat di Koran Tempo, Minggu, 20 Agustus 2006. Salam. - ASL ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SETELAH malam itu, kau tahu, nenekku harus menjalani lagi seluruh hal yang ia sendiri sudah bosan melakukannya dan ia menjalaninya sendirian karena kakekku sudah tidak lagi menemaninya. Lelaki itu masih hidup, tetapi ia tidak mungkin meninggalkan kerangkeng yang mengurungnya.
Kakek dan nenekku, selanjutnya kusebut saja Bob dan Leli, tinggal di lereng bukit di daerah selatan Semarang, tak jauh dari kuburan Cina yang beberapa makamnya sudah pernah dibongkar orang. Kupakai nama Bob dan Leli karena mereka mungkin tidak suka jika aku menyebut nama asli mereka (tetapi orang-orang pasti tahu siapa yang kumaksud sebab hanya keluargaku yang mengalami kisah ini). Bob dan Leli memiliki tiga orang anak dan sudah bertahun-tahun mendambakan cucu.
Anak pertama mereka, pamanku, menamatkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah; ia mendapatkan banyak pelajaran agama di sekolah tetapi tidak suka mengaji. Selanjutnya pamanku tumbuh di tengah gelak pesta para gali dan menjadi pemuda mabuk yang tidak beristri hingga usianya empat puluh. Berkali-kali kakek dan nenekku mengingatkan agar pamanku segera menikah, tetapi upaya itu sia-sia. Pamanku tetap seorang bujangan di hari kematiannya, dua bulan menjelang usianya empat puluh tiga.
Harapan Bob dan Leli untuk mempunyai cucu hanya bisa dipikulkan pada anak kedua mereka, seorang perempuan yang mula-mula jatuh cinta kepada tukang amplas di perusahaan mebel samping rumah tetapi kemudian menikah dengan karyawan asuransi yang kalem dan tampak tua. Mungkin kau ingin mengetahui bagaimana karyawan asuransi berhasil mengalahkan si tukang amplas dalam perebutan cinta, tetapi aku harus membatasi diri untuk tidak menceritakannya sekarang. Di kesempatan lain, aku berharap bisa meluangkan waktu khusus untuk menyampaikan kisah cinta mereka. Hanya anak kedua inilah yang sudah menikah; anak ketiga, seorang perempuan juga, belum menikah sampai usia dua puluh delapan dan seterusnya.
Aku akan mundur ke masa tiga tahun sebelum aku lahir. Pada waktu itu anak kedua sudah tujuh tahun menikah dan ia tidak pernah hamil, sementara keinginan Bob dan Leli untuk memperoleh cucu makin tak tertahankan. Karena tidak bisa hanya menunggu, Bob dan Leli kemudian rajin mengunjungi rumah orang-orang sakti dan senang bertandang ke tempat-tempat keramat. Di rumah-rumah orang sakti mereka mendapatkan pelbagai mantra dan nasihat tentang apa yang harus dimakan oleh anak mereka yang tidak kunjung hamil; di tempat-tempat keramat mereka memanjatkan doa.
Pada kunjungan pertama mereka ke orang sakti, mereka mendapatkan resep bahwa anak perempuan mereka harus meminum air kelapa hijau tiap malam Jumat selama tujuh kali tanpa jeda. Resep ini tidak mendatangkan keajaiban dan mereka beralih ke orang sakti lain yang yang memberikan mantra dan resep berbeda. Setelah mengunjungi empat orang sakti, mereka memindahkan kunjungan ke tempat-tempat keramat. Mula-mula mereka mendatangi sebuah tugu yang tegak di pulau kecil di tengah sungai. Empat bulan setelah itu, menuruti saran seorang tetangga, mereka pergi ke sebuah sendang, bermalam di sana, dan membawa pulang airnya untuk diminumkan kepada anak perempuan mereka. Tiga bulan kemudian, atas saran dari tetangga juga dan dengan ongkos perjalanan yang dipinjam dari seorang rentenir, mereka mengunjungi sebuah meriam tua di Jakarta. “Kalian tahu seperti apa bentuk meriam tua itu,” kata si tetangga. “Semua orang yang datang ke sana tak pernah kecewa.”
Ketika tiba di sana, keduanya merasa sangat yakin bahwa sebentar lagi mereka akan diberkahi cucu. Bentuk meriam itu, kau tahu, memang bisa mempertebal keyakinan siapa pun yang berdoa kepadanya. Pada pangkalnya ada bentuk tangan terkepal, dengan jempol diapit oleh jari telunjuk dan jari tengah—itu seperti jika kau mengepalkan tangan di saat jengkel pada seseorang. Duduk di samping meriam itu, Bob dan Leli menunjukkan sikap khidmat dan berdoa sangat khusyuk.
Lima bulan setelah kunjungan itu, setelah Bob dan Leli menghabiskan waktu dua tahun untuk kelayapan ke sana kemari, ibuku sering merasa mual-mual. Ia hamil. Doa Bob dan Leli dikabulkan oleh si meriam; beberapa bulan lagi mereka akan beroleh cucu. Tetapi, kau tahu, kegembiraan kadang datang bersama keruwetan. Mereka sama sekali tidak mengharapkan ibuku, anak ketiga mereka, yang mengandung; ibuku belum menikah dan tetangga-tetangga tentu akan menggunjingkan perempuan yang hamil tanpa menikah. Gunjingan ini sesungguhnya bisa diatasi dengan mudah sekiranya Bob dan Leli pada saat itu sudah memiliki dua belas cucu. Mereka bisa membentak-bentak ibuku dan membawanya ke dukun penggugur kandungan sebelum orang-orang melihat perut ibuku membesar. Tetapi, mereka tidak mungkin melakukan itu karena yang tumbuh di rahim ibuku adalah cucu pertama mereka—ialah aku.
“Coba tanyakan kepada kawan-kawanmu, barangkali ada yang mau menikah dengan si cacing,” kata Bob kepada pamanku. Betapa kalapnya kakekku. Memasrahkan ibuku kepada kawan-kawan pamanku berarti menyerahkan nasibnya, dan nasibku kelak, di tangan gali. Tetapi aku bisa memahami kekalapannya. Ia sudah berkali-kali menanyai ibuku siapa lelaki yang menyuntikkan benih ke dalam rahimnya dan ibuku tidak pernah mengatakan siapa lelaki itu.
Pamanku tidak sekalap kakekku. Ia mengatakan kepada Bob bahwa seharusnya si cacinglah yang mencari jodoh buat dirinya sendiri. “Hanya ia yang tahu siapa ayah dari janin yang menyumpal di dalam rahimnya,” kata pamanku. “Hanya ia yang bisa menemukan orang itu dan mengajaknya menikah,” Tetapi si cacing, mereka memanggil ibuku dengan sebutan itu, sepertinya tidak peduli pada keresahan orang tuanya. Dengan paras mukanya yang mengantuk, ia memang selalu tampak tidak pedulian.
“Zaman dulu ada juga perempuan yang melahirkan tanpa suami dan bayinya tumbuh menjadi nabi,” katanya.
“Nabi mbahmu,” kata Bob. “Pada zaman dulu yang datang kepadanya malaikat, tetapi siapa yang datang kepadamu?”
“Seorang lelaki, mungkin ia juga malaikat,” kata si cacing. “Siapa tahu?”
Pamanku, dengan ingatan samar-samar pada pelajaran agama yang pernah didapatnya di sekolah, tampaknya senang sekali mendengar jawaban ibuku. Pada suatu hari, dengan kepala dipenuhi uap alkohol, ia mengatakan kepada orang-orang yang berpesta di tempat minum bahwa adiknya dititipi benih oleh malaikat yang menyelinap ke kamar melalui bubungan atap. “Karena itu si cacing hamil meskipun tanpa suami,” katanya. “Anaknya kelak menjadi nabi.”
Bob tidak pernah segembira pamanku. Makin hari perut si cacing makin membukit, meskipun tubuhnya tetap kurus, dan ia tetap tidak menunjukkan minat untuk mendapatkan suami. Bob makin kalap menghadapi ibuku—mungkin putus asa. Sebetulnya ia sangat berharap ibuku menjadi penari. Dulu, ia pernah berpacaran dengan penari balet, seorang perempuan setinggi galah yang mampu berdiri dengan satu ujung kaki dalam waktu beberapa lama. Kupikir-pikir aneh juga seorang lelaki yang sejak lama mendekam di pelosok selatan Semarang, dekat kuburan Cina, bisa memiliki pacar seorang penari balet. Aku tak tahu di mana mereka pertama kali bertemu dan bagaimana seorang penari balet bisa jatuh cinta kepada lelaki kampungan.
Angan-angan Bob untuk menjadikan ibuku seorang penari balet tidak pernah disetujui oleh Leli, sebab hal itu mengingatkannya pada perempuan yang pernah menjadi pacar Bob. “Lebih baik ia menjadi pegawai bank,” kata Leli.
“Itu pun baik juga,” kata Bob.
“Ia harus jadi pegawai bank!” tegas Leli.
“Aku tidak membantah, kan?” kata Bob. “Aku hanya bilang....”
“Lalu untuk apa kau diam-diam membelikannya sepatu balet?”
“Ia sendiri yang meminta.”
“Tidak semua permintaan harus dikabulkan.”
“Kalau ia menjadi penari balet, ia akan sering pergi ke luar negeri. Tetapi menjadi pegawai bank pun sebetulnya baik juga....”
Itu perdebatan bertahun-tahun lalu, ketika si cacing masih remaja.
Ketika usianya tiga puluh dan menggendong janin di dalam rahimnya, ibuku sudah tidak bisa menjadi apa pun: karyawan bank atau penari balet. Mungkin menjadi penari balet masih bisa, setelah bayinya lahir, tetapi ia harus pandai-pandai merawat tubuh. Biasanya perempuan yang habis melahirkan selalu melar tubuhnya dan perempuan bertubuh melar akan kesulitan menjadi penari balet. Tak akan mudah bagimu untuk berdiri dengan satu ujung kaki jika tubuhmu melar.
Pada dua-tiga bulan menjelang kelahiranku, aku menyaksikan keadaan Bob yang makin mengharukan. Ada tetangganya yang pernah mengatakan bahwa kehamilan ibuku adalah kutukan yang harus diterima oleh Bob dan Leli karena mereka suka berdoa di tempat-tempat keramat. Bob tidak pernah mendengar sendiri omongan itu; ia nyaris tidak pernah keluar rumah sejak dua-tiga bulan menjelang kelahiranku. Kakekku mendekam saja di kamarnya, seperti pertapa-pertapa yang mengubur diri dalam gua menunggu mukjizat diturunkan. Leli masih keluar rumah; ia pergi ke pasar setiap pagi dan kadang-kadang harus ke warung membelikan rokok buat suaminya.
Pada saat kandungan ibuku berumur sembilan bulan lebih sepuluh hari, aku lahir di kamar mandi. Lihatlah, aku lahir tepat waktu meski tak ada ayah yang menungguiku. Saat itu ibuku merasa ingin kencing dan ia masuk ke kamar mandi dan aku lahir sebelum ia sempat menutup pintu kamar mandi. Tetangga-tetangga datang menengok kelahiranku. Aku menyaksikan paras dengki beberapa orang ketika melihat aku lahir dengan wajah cantik. Mungkin mereka berharap menyaksikan sesuatu yang menggemparkan di hari kelahiranku; kurasa mereka akan lebih suka jika aku lahir sebagai seekor kura-kura atau bajing. Hal itu akan membuat mereka makin gigih menggunjingkan dosa keluargaku. Sebetulnya ingin kukatakan kepada mereka, “Kalian tidak usah dengki,” tetapi aku bisa menahan diri. Aku tidak ingin meniru apa yang sudah pernah dilakukan oleh bayi lain pada zaman dulu.
Pamanku sungguh mencintaiku. Ia selalu mengabarkan kepada orang-orang di tempat minum bahwa parasku sangat cantik. “Kemarin, setelah kalian semua pulang, aku mendengar ia berbicara pada ibunya,” katanya. Ia menceritakan apa yang tidak pernah kulakukan. Kurasa ia melakukan itu karena rasa bangganya yang berlebihan kepadaku.
Di antara semua orang yang ada di rumah, yang paling membuatku sedih adalah Bob. Kakekku terus menenggelamkan dirinya di kamar. Ia baru keluar dari kamarnya ketika umurku sebulan dan ia mendatangiku dengan wajah seorang pertapa yang baru saja mendapatkan ilham. Itu pertama kalinya ia melihatku dan pada saat itu juga ia meraihku dari gendongan ibuku dan kemudian membawaku ke pekarangan belakang. Di sana, ketika kami hanya berdua, ia membisikkan padaku ilham yang baru diterimanya. Aku ingin menjawab silakan, tetapi tidak jadi kusampaikan jawaban itu. Kau tahu, aku tak suka meniru apa yang pernah dikatakan oleh orang-orang zaman dulu. Karena itu aku diam saja dan hanya memandanginya.
Pada malam harinya, ketika aku dan ibuku sedang tidur bersebelahan, Bob masuk ke kamar kami dan mengangkatku dengan hati-hati. Ia kembali membawaku ke pekarangan belakang dan membaringkan tubuhku di tanah dan menggoreskan pisau yang dibawanya ke leherku—cucu yang bertahun-tahun ia dambakan. Aku memahami apa yang ia lakukan; kakekku hanya menjalankan sebuah ilham. Tapi aku mati malam itu, sebab ia bukan nabi dan karena itu tak ada malaikat yang datang ke pekarangan untuk menukar tubuhku dengan kambing atau kelinci atau binatang apa pun. Nyawaku terbang ke langit dengan membawa satu keinginan: menceritakan kisah ini kepadamu.
Kau tahu, pamanku menjadi gali yang makin kasar dan suka menyiksa orang setelah kematianku dan ia sendiri mati enam bulan kemudian di tangan tentara misterius yang bekerja malam-malam. Ibuku mati enam tahun lalu, tetapi sebetulnya ia sudah mati tujuh tahun sebelumnya, bertepatan dengan hari kematianku. Kakekku mendekam di dalam kerangkeng beberapa hari setelah pisaunya menggores leherku. Polisi menahannya dan pengadilan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepadanya. Aku sedih pada hukuman yang harus ditanggung oleh kakekku, tetapi tak bisa kusalahkan polisi yang menangkapnya dan hakim yang menghukumnya. Mereka tidak seperti aku; mereka tidak mengerti bahwa apa yang dilakukan oleh kakekku hanyalah mematuhi sebuah ilham.
Nenekku, orang yang paling tahan di dalam keluarga kami, tetap memelihara keinginannya untuk punya cucu. Seperti seorang pengkhianat yang memikul kutuk, sampai hari ini ia terus mendatangi tempat-tempat keramat dan dukun-dukun dan ia melakukannya sendirian karena kakekku tidak bisa menemaninya. Usia perkawinan bibiku sudah dua puluh tiga tahun dan ia tetap tidak pernah hamil dan sekarang umurnya sudah empat puluh sembilan. Suaminya, si pegawai asuransi, sudah berumur enam puluh tiga. Pada waktu menikahi bibiku, lelaki itu sudah berusia empat puluh tahun. Itulah sebabnya ia selalu kalem dan tampak tua pada masa-masa mendekati bibiku. Nenekku tidak patah oleh kondisi anak dan menantunya. “Ibuku sudah lima puluh empat ketika melahirkan adikku dan bapakku sudah enam puluh lima,” kata nenekku. Karena itu, dengan harapan suatu hari anaknya akan hamil, ia terus melakukan hal-hal yang ia sendiri sebenarnya sudah bosan.
Kusampaikan cerita ini karena beberapa tahun belakangan orang-orang mulai menganggap nenekku gila. Kau tahu, ia sangat waras; ia hanya melakukan apa yang harus dilakukan demi sesuatu sangat berharga yang didambakannya. Kupikir mereka bahkan harus mencontoh kegigihannya. Maka, demi menuturkan cerita ini, pada malam Jumat kemarin kurasuki tubuh seseorang untuk menuliskannya. Kau mungkin mengira bahwa cerita ini ditulis oleh A.S. Laksana. Sesungguhnya bukan, ia sudah lama tidak menulis dan kurasa ia sedang tidak memiliki gagasan apa pun untuk ditulis. Aku meminjam jari-jarinya dan menggunakan namanya agar cerita ini sampai kepadamu. Namaku Gloria (itu nama yang kupilih sendiri karena ibuku belum sempat menamaiku), kini tiga belas tahun, seorang remaja cantik yang tumbuh sedih di tempatku. Kuharap ibu dan pamanku ikut membaca tulisan ini. Kami tidak pernah saling berjumpa bahkan setelah mereka berdua mati.***